BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Kebijakan Publik
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah sebagai regulasi revisi atas undang-undang no. 22 tahun 1999, maka
pelbagai kewenangan serta pembiayaan kini dilaksanakan oleh pemerintah daerah
dengan lebih nyata dan riil. Mulai saat ini pemerintah daerah mempunyai
kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, melaksanakan, serta mengevaluasi
kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat. Dalam menjalankan tugas dan perannya pemerintah daerah diharapkan
dapat mengalokasi sumber-sumber daya dan memahami masalah-masalah public secara
efisien, mampu mendiagnosa dan memperbaiki kegagalan-kegagalan pasar yang
tengah atau pernah terjadi,siap menyediakan barang-barang public yang tidak dapat disediakan oleh pasar,
hingga bisa menyusun/memformulasi regulasi yang efektif dan tak mendistorsi
pasar.
Sekarang,
pemerintah daerah tidak lagi sekedar sebagai pelaksana operasional
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan dan ditentukan oleh pusat, seperti
pada masa orde baru, tetapi lebih dari itu diharapkan dapat menjadi agen
penggerak pembangunan di tingkat daerah/local. Ada bebrapa faktor yang dapat
membuat pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan pembangunan
(khususnya pembangunan ekonomi), diantaranya adalah dilokasikannya
(didaerahkannya) perijinan-perijinan.
Pada masa lalu (orde Baru,misalnya), beberapa bentuk perijinan (penanaman modal
dan kegiatan dunia usaha) pada umumnya harus diselesaikan di Jakarta, kini
perijinan tersebut dapat diselesaikan di daerah sehingga pengurusannya lebih
mudah, cepat, dan
(dengan biaya yang
lebih) murah.
B. Bentuk-bentuk Kebijakan Publik
Kebijakan publik di Indonesia dalam arti
luas terbagi dua, yaitu kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis dan
peraturan tidak tertulis yang disepakati umum (konvensi). Kebijakan publik
dibuat bermacam-macam bentuknya, antara lain sebagai berikut:
a)
Peraturan Perundang-Undangan
1. UUD
1945
2. Undang-Undang
atau Peraturan Pemerintah
3. Pengganti
Undang-Undang
4. Peraturan
Pemerintah
5. Peraturan
Presiden
6. Peraturan
Daerah
b) Pidato
Pejabat Tinggi
1. Pidato
presiden setiap tanggal 16 Agustus
2. Pidato
presiden atau menteri pada waktu hari besar nasional
3. Pernyataan
pejabat negara.
c) Program-Program
Pemerintah
1. APBN
dan APBD
2. Arah
kebijakan
3. Proyek-proyek.
d) Tindakan
yang Dilakukan Pemerintah
1. Perjanjian
yang dilakukan presiden dengan negara lain
2. Kehadiran
presiden ke daerah, kongres partai, munas ormas, dan sebagainya
Adapun yang termasuk kebijakan publik,
antara lain:
1.
Kebijakan kenaikan kenaikan tarif
angkutan,
2.
Kebijakan cukai tembakau,
3.
Kebijakan pajak kedaran mewah,
4.
Program transigrasi, dan
5.
Program wajib belajar sembilan tahun.
Peraturan-peraturan tersebut merupakan bentuk kebijakan publik yang dibuat oleh
lembaga berwenang dan seluruh peraturan tersebut mengikat kita semua sebagai warga negara. Peraturan selalu diikuti dengankewajiban
kita untuk melaksanakannya.Tentunya sebagai warga negara yang baik kita
sepatutnya turut serta menyusun dan merumuskan kebijakan
publik. Salah satu caranya adalah secara aktif menyampaikan pendapat atau aspirasi
kepada lembaga yang menjadi wakil rakyat seperti DPR. Masyarakat
dituntut untuk aktif karena sebenarnya yang mengetahui dan mengalami
permasalahan adalah masyarakat itu sendiri. Jika masyarakat aktif dalam menyusun,
melaksanakan, dan menilai kebijakan publik maka kebijakan publik tersebut
nantinya akan sesuai dengan keinginan masyarakat.
C. Kebijakan Pendidikan dan Karakteristik
Kebijakan Pendidikan
Definisi kebijakan publik telah dikemukakan pada bagian
terdahulu, sementara pengertian kebijakan pendidikan berangkat dari pemikiran Tilaar dan
Nugroho (2008) yang
mengungkapkan bahwa
kebijakan pendidikan tidak dapat dilepaskan
dengan
hakikat pendidikan dalam proses
memanusiakan anak manusia menjadi manusia merdeka.
Manusia merdeka
adalah manusia
yang kreatif yang
terwujud di
dalam budayanya. Manusia
dibesarkan di dalam habitatnya yang membudaya, dia hidup di
dalam budayanya
dan dia menciptakan atau merekonstruksi budayanya itu sendiri.
Konstruksi
pemikiran di
atas bermakna
bahwa pendidikan adalah proses
pemberdayaan sehingga
peserta
didik
menjadi
mandiri, kreatif dan bertanggung
jawab
atas eksistensinya. Tilaar dan Nugroho (2008) mengelaborasi
pendidikan dalam
pandangan Ki
Hajar Dewantara, Romo Mangun dan Paulo Freire. Bagi Ki
Hajar
Dewantara, pendidikan sebagai suatu proses pemberdayaan untuk menumbuh- kembangkan kemandirian manusia karena pada dasarnya manusia
merupakan mahluk yang berdiri sendiri
dan bertanggung jawab atas eksistensi
dirinya, tidak seorangpun
berhak merampas kemandirian orang lain, dan
hak menjadi diri sendiri menunjukkan
identitas seseorang yang diwujudkan melalui interaksi dengan
orang lain. Hal ini juga senada dengan pandangan Romo Mangun
yang
memandang manusia sebagai mahluk kreatif
yang dianugerahi
kebebasan berpikir agar dapat menentukan dirinya sendiri.
Guna meningkatkan Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang
khusus, yakni:
1. Memiliki
tujuan pendidikan. Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih
khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk
memberikan kontribusi pada pendidikan.
2. Memenuhi
aspek legal-formal. Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu
adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan
itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan
pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hierarki
konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan
resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan
pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki
konsep operasional. Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat
umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan
dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan
yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi
pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat
oleh yang berwenang. Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di
bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan
kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para
administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang
berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan
pendidikan.
5. Dapat
dievaluasi. Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang
sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau
dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki.
Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya
evaluasi secara mudah dan efektif.
6. Memiliki
sistematika. Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh
karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang
ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas,
efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak
bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian
faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus
diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan
kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan
pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik;
kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau di samping dan di bawahnya, serta daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
D.
Masalah
Kebijakan
(Sudadio : 37) Masalah kebijakan adalah suatu
kondisi atau situasi yang menimbulkan ketidakpuasan atau kebutuhan bagi rakyat
dan mendorong mencari penyelesaian. Masalah-masalah kebijakan antara lain
adalah kebutuhan, nilai-nilai atau kesempatan-kesempatan yang tidak terealisir
tetapi yang dapat dicapai melalui suatu tindakan tertentu. Berikut visualisasi
proses pemahaman dan perumusan masalah :
Solusi Kebijakan
|
Solusi Kebijakan
|
Pemecahan Kembali
|
Pemecahan Masalah
|
Masalahnya Valid
|
Masalah Kebijakan
|
Perumusan Masalah
|
Pemantahan Solusi
|
Pementahan Masalah
|
Situasi Masalah
|
Pengenalan
Masalah
|
Pembuatan kebijakan tidak berawal
dari masalah yang terartikulasi dengan jelas, tetapi suatu perasaan khawatir
yang kacau dan tanda-tanda awal yang menunjukkan adanya permasalahan yang layak
untuk dijadikan sebagai kebijakan.
Berikut
beberapa ciri penting dari masalah kebijakan antara lain:
1.
Saling ketergantungan dari masalah
kebijakan
Dalam kenyataanya masalah-masalah
kebijakan bukan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, mereka merupakan bagian
dari keseluruhan sistem kondisi eksternal yang menghasilkan ketidakpuasan di
antara segmen-segmen masyarakat yang berbeda.
2.
Subyektifitas dari masalah kebijakan
Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu
permasalahan didefinisikan, diklarifikasikan, dijelaskan, dan dievaluasi secara
selektif. Meskipun terdapat suatu anggapan bahwa masalah bersifat obyektif.
Data yang sama dapat diinterpretasikan secara berbeda. Masalah kebijakan adalah
suatu hasil pemikiran yang dibuat pada suatu lingkungan tertentu.
3.
Sifat buatan dari masalah
Masalah kebijakan merupakan hasil/produk
penilaian subyektif manusia, masalah kebijakan itu juga bisa diterima sebagai
definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang obyektif dan karenanya
masalah kebijakan dipahami, dipertahankan, dan diubah secara sosial.
4.
Dinamika masalah kebijakan
Terdapat banyak solusi untuk suatu
masalah. Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang konstan dan
karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan. Solusi terhadap masalah
dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang.
E.
Agenda
Kebijakan
Agenda kebijakan dapat dibedakan dari prioritas
politik, dimana biasanya memberikan ranking pada item agenda, dengan
pertimbangan yang lebih penting atau penekanan pada beberapa kebijakan
dibandingkan dengan yang lainnya.
Dalam sistem politik akan terdapat sejumlah agenda
kebijakan : Roger Cobb dan Charles Elder melihat dua tipe dasar agenda, yaitu:
agenda sistemik (the systemic agenda)
dan agenda institusional (institutional
agenda atau agenda pemerintahan). Agenda sistemik, menurut pemahaman dan
pengertian yang diajukan dalam buku Participation
in American Politics : the Dynamics of Agenda- Building, berisi mengenai
semua persoalan yang dipandang secara umum oleh anggota kelompok politik
sebagai sesuatu hal yang patut memperoleh
perhatian publik dan mencakup masalah-masalah yang berada dalam
kewenangan sah dari setiap tingkat pemerintahan yang ada. Karena itu, agenda
sistemik akan ada variasi level sistem politik baik dalam aras lokal, regional
dan nasional. Contoh: masalah kriminalitas di jalan, akan muncul pada tingkat
pemerintahan lokal, pemerintah lokal, pemerintah regional, maupun pemerintah
nasional. Tetapi masalah pembayaran utang luar negeri hanya akan ada pada agenda
sistemik level nasional. Agenda sistemik pada dasarnya merupakan agenda
diskusi/pembicaraan yang berasal dari isu-isu yang berkembang di masyarakat.
Bila pada dasarnya agenda sistemik adalah merupakan
agenda diskusi/pembicaraan yang berasal dari isu-isu yang berkembang dalam
masyarakat. Pertanyaan nya sekarang adalah: bagaimana caranya suatu isu
kebijakan dapat muncul menjadi agenda sistemik? Menurut Cobb dan Elder ada tiga
persyaratan agar isu-isu kebijakan dapat masuk ke dalam agenda sistemik. Pertama,
isu itu memperoleh perhatian yang luas atau setidaknya dapat menimbulkan
kesadaran publik; kedua, adanya persepsi dan pandangan publik yang luas bahwa
beberapa tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut; dan
ketiga, adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu adalah
merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang sah pemerintah untuk
menyelesaikan/mengatasinya (1972:84-85).
Agenda yang kedua adalah agenda institusional atau
agenda pemerintahan yang terdiri dari pemerintahan yang terdiri dari
persoalan-persoalan yang termaktub dalam agenda sistemik dimana kemudian para
pejabat publik memberikan perhatian yang serius dan aktif atas isu-isu yang
berkembang dalam agenda sistemik. Sejak terdapat bermacam-macam cara dimana keputusan
kebijakan dapat dibuat, maka akan terdapat pula bermacam-macam agenda
institusional. Di tingkat nasional, akan ditemui agenda hukum, administrasi,
kepresidenan, dan agenda parlemen. Agenda institusional merupakan agenda
pelaksanaan yang sifatnya lebih spesifik dan konkret daripada agenda sistemik.
Kriminalitas di jalan raya mungkin menjadi agenda sistemik, Parlemen akan
dihadapkan dengan proposal yang lebih spesifik, yang berhubungan dengan
permasalahan ini, misalnya bantuan sumberdaya pada instansi pelaksana hukum
lokal sehingga kriminalitas di jalan raya dapat ditangani.
Agenda institusional, merujuk pada Cobb dan Elder,
dapat berisi “masalah-masalah lama” (old
items) dan masalah-masalah baru (new items). Masalah-masalah lama
merupakan problem yang selalu muncul secara reguler pada agenda pemerintah,
seperti misalnya: peningkatan pembayaran pegawai negeri, keamanan, penambahan
fasilitas publik, atau alokasi anggaran. Masalah-masalah lama ini sudah biasa
bagi para pengambil kebijakan (cukup dikenali) sehingga alternatif yang
berhubungan dengan permasalah tersebut relatif sudah agak terpolakan jalan
keluarnya. Sedangkan masalah-masalah baru timbul karena situasi atau kejadian
tertentu, seperti pemogokan karyawan kereta api, atau krisis kebijakan luar negeri,
atau karena perkembangan dukungan yang meluas bagi suatu tindakan pada
masalah-masalah seperti pengawasan senjata atau pengurangan polusi udara.
Masalah-masalah baru yang mencapai agenda sistemik lama-kelamaan pun dapat
menjadi masalah-masalah yang semakin lama juga menjadi problem yang selalu
muncul pada agenda pemerintah secara reguler. Bila kita hendak menyederhanakan
perbedaan antara agenda sistemik dan agenda institusional. Maka dapat kita
simpulkan bahwa agenda sistemik biasanya bersifat abstrak umum, dan kurang
menunjukkan alterbatif cara-cara pemecahan. Sedangkan agenda institusional
mempunyai sifat khas dan lebih konkret. Tidak
semua maslaha menjadi perhatian pembuaut kebijakan, tidak sedikit diantara
masalah yang ada justru berlaku tanpa intervensi , atau bahkan terus
berlangsung tanpa pemecahan. Sedangkan bila ada diantara masalah tersebut yang
menjadi perhatian para pembuat kebijakan sehingga masalah tersebu diamankanm
diproses, dan ditindaklanjuti maka inilah yang dinamakan dengan agenda kebijakan.
Adapun masalah yang dijadikan sebagai kebijakan
apabila masalah tersebut memenuhi kriteria teori yaitu ; 1) masalah yag
sifatnya luar biasa atau menimbulkan hal-hal yang luar biasa seperti; krisis
ekonomi, krisis pangan, bencana alam, bencana kelaparan, bencana penyakit
menular, dan kebutuhan sembako serta melonjaknya harga sembako diluar batas
normative, 2) masalah atau subjek yang berkepentingan dengan penguasa, seperti
kedudukan pemimpin negara, 3) masalah yang diangkat melalui media massa karena
penyebarannya relatif cepat, 4) masalah yang diangkat oleh kaum elit, ilmuan,
atau akademisi.
Semua masalah kebijakan tersebut apakah dapat
dijadikan sebagai kebijakan, pada akhirnyaa sangat ditentukan oleh para aktor
kebijakan itu sendiri terutama oleh pemimpin puncak serta para atau kelompok
sosial kontrol lainnya yang berfungsi sebagai pengontrol dan proses formulasi
regulasi.
F.
HASIL
KEBIJAKAN
Hasil kebijakan dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu : 1) output (keluaran) dan, 2) outcome ( dampak/implikasi). Keluaran
kebijakan dapat berupa barang, layanan, atau sumber daya yang diterima oleh
kelompok sasaran atau kelompok penerima. Contohnya, santunan per orang dan
jumlah makanan yang diterima oleh orang jompo. Sebaliknya , dampak kebijakan
merupakan perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan oleh
keluaran kebijakan tersebut. Misalnya, makanan yang disediakan bagi orang jompo
merupakan keluaran , sedangkan jumlah rata-rata protein yang mereka makan
adalah dampaknya.
Dalam memantau keluaran serta dampak
kebijakan harus diingat bahwa kelompok sasaran tidak selalu merupakan kelompok
penerima. Kelompok sasaran (target groups) adalah individu, masyarakat atau
organisasi yang hendak dipengaruhi oleh suatu kebijakan dan program , sedangkan
penerima adalah kelompok yang menerima manfaat atau nilai dari kebijakan
tersebut. Misalnya, perusahaan adalah
sasaran dari program pemerintah federal yang dikelola oleh The Occupational
Safety and Health Adsministration (OSHA), sedangkan para pekerja dan keluarga
merekalah yang menjadi penerima manfaat.
G.
PROSES
REGULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Produk dan
Perubahan
|
Umpan Balik
|
Aktor
|
Formulasi
Implementasi Evaluasi
|
Agenda Masalah
dan Isu-Isu Publik
|
H.
Faktor
Penetu Dilaksanakannya Kebijakan Atau Tidaknya Suatu Kebijakan Publik
Semua
kebijakan publik dibuat untuk mengawasi prilaku manusia dan untuk membujuk
manusia untuk bertindak sesuai aturan atau tujuan yang ditentukan pemerintah.
Jika kebijakan tidak dipenuhi, jika orang-orang tetap bertindak dengan cara
yang tidak diinginkan, atau mereka berhenti mengerjakan apa yang mereka
tentukan, maka kebijakan tersebut tidak efektif atau secara ekstrim hasilnya
nol. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan publik:
a.
Faktor
Penentu Pemenuhan Kebijakan
1. Respeknya
anggota masyarakat Pada Otoritas dan Keputusan Pemerintah.
Kodrat
manusia jika merujuk pada filsafat politik Jhon Lock, dikatakan memiliki state of nature yang berkarak
terpositif, ini artinya, manusia dapat menerima dengan baik hubunganrelasional
anatarindividu. Ketika relasional ini dapat berjalan dengan baik, logikanya,
bahwa ada system social yang menggerakkan seluruh warga untuk saling
hormat-menghormati.
Kepatuhan
terhadap suatu kebijakan akan terus berlangsung seiring dengan adanya alasan
yang logis untuk menghormati kebijakan. Konsekuensinya adalah semua itu
tercipta akibat manusia telah terdidik secara moral untuk bersedia mematuhi
hokum dan perundang-undangansebagai suatu hal yang benar dan baik untuk public
Penghormatan dan penghargaan publik pada kebijakan pemerintah menjadi kata
kunci yang sangat penting dalam keberlangsunga kebijakan.
2. Adanya
Kesadaran Untuk menerima Kebijakan
Dalam
masyarakat yang digerakan oleh rational chost ( pilihan yang rasional), seperti
pada abad Postmodern saat ini, banyak
dijumpai bahwa individu/kelompok warga menerima dan melaksanakan kebijakan
publik sebagai suatu hal yang logis. Di sisi lain di jaman sekarang banyak
orang yang tidak suka membayar pajak, tetapi apabila merteka percaya bahwa
membayar pajak itu perlu untuk memberikan kontribusi atas pelayanan pemerintah pada publik,
maka orang akan sadar dan patuh
3. Adanya
Sanksi Hukum
Banyak
orang yang takut terkena sanksi baik ringan ataupun berat, sehingga tidak
jarang membuat mereka patuh terhadap kebijakan,strategi seperti ini sering
digunakan aparatus Negara dalam upaya memenuhi penerapan kebijakan.
Adanya
teguran dari masyarakat apabila ada orang yang melanggar kebijakan sangat
penting untuk ada dalam peneraApan kebijakan, karena dengan teguran yang
diberikan maka sipelaku akan sadar dan merasa malu telah melanggar kebijakan.
4. Adanya
Kepentingan Publik
Masyarakat
mempunyai keyakinan bahwa kebijaKan public dibuat secara sah, konstitusional,
dan dibuat oleh pejabat public yang berwenang, sertA melalui prosedur yang sah
yang telah tersedia. Bila suatu kebijakan dibuat berdasarkan ketentuan tersebuT
diatas, maka masyarakat cenderung mempunyai kesediaan diri untuk menerima dan
melaksanakan kebijakan itu, terutam jika kebijakan itu menyangkut hajat hidup
mereka
5. Adanya
Kepentingan Pribadi
Dalam
penerapan suatu kebijakan sering memberikan keuntungan bagi sebagian orang
sehingga dengan senang hati mereka menerima kebijakan tersebut, namun disisilan
dengan kebijkana yang sama membuat sebagian orang yang lain yang menjadi rugi,
Maka masyarakat yang merasa dirugikan akan menolak kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah
6. Masalah
Waktu
SuaTu
kebijaKan yang bertolak belakang dengan kepentingan public, maka warga akan
berkecenderungan untuk menolak kebijakan tersebut. Tetapi begitu waktu berlalu,
pada akhirnya suatu kebijakan yang dulunya pernah ditolak dan dianggap
kontroversial, berubah menjadi kebijakan yang wajar yang dapat diterima.
b.
Faktor
penentu penolakan atau penundaan kebijakan
1. adanya
kebijakan yang bertentangan dengan system nilai yang ada
bila
suatu kebijakan yang ingin diterapkan bertentangan keras dengan system nilai
yang diterapkan pada masyarakat, maka kebijkan tersebut akan cenderung ditolak
oleh masyarakat dan dibatalkan
2. tidak
adanya kepastian hukum
kebijakan
yang saling bertentangan, dan kebijakan yang kurang jelas dapat membuat kesalah
pengertian, sehingga sangat mungkin untuk ditola
3. Adanya
keanggotaan seseorang dalam suatu
organisasi
Keterlibatan
aktif seseorang dalam membuat suatu kebijakan yang baik, akan sulit untuk
diterima apabila ide-ide tersebut bertentangan dengan tujuan organisasi
I.
Aktor
Dan Pelaku Pembuat Kebijakan Publik Dan Pendidikan
Aktor dan pelaku pembuat kebijakan
publik dan pendidikan merupakan orang /
kelompok orang yang bertugas menganalisis/merumuskan/menyusun kebijakan.
Pejabat pembuat kebijakan adalah orang
yang mempunyai wewenang yang sah untuk ikut serta dalam formulasi hingga
penetapan kebijakan publik, walau dalam kenyataannya beberapa orang yang
mempunyai wewenang sah untuk bertindak dikendalikan oleh orang lain. Kebijakan
pendidikan adalah kebijakan publik di bidang pendidikan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Mark Olsen, Jhon Codd, dan Anne-Mari O’Neil, kebijakan
pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi, bagi
Negara-bangsa dalam persaingan global, sehingga kebijakan perlu mendapatkan
prioritas utama dalam ere-globalisasi. Salah satu argument utamanya adalah
bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil
adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan.
Pejabat
pembuat kebijakan terbagi menjadi dua, yaitu pembuat kebijakan primer dan
pembuat kebijakan suplementer/sekunder/pendukung. Pembuat kebijakan primer
adalah aktor-aktor atau stakeholder yang mempunyai wewenng konstitusional langsung
untuk bertindak , misalnya wewenang bertindak di parlemen yang tidak harus
tergantung pada unit pemerintah lainnya. Sedangkan pembuat kebijakan
suplementer/ sekunder/pendukung (tak resmi), seperti instansi administrasi,
harus mendapat wewenang untuk bertindak dari lembaga yang lainnya (pembuat kebijakan primer) dan karena itu, paling tidak secara potensial,
ia tergantung atau dapat dikendalikan oleh pembuat kebijakan primer. Dalam
pendidikan, Pelaku kebijakan primer (resmi) pendidikan adalah perorangan atau
lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan..
pembuat kebijakan suplementer/ sekunder/pendukung pendidikan adalah individu atau organisasi
yang terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik, dan media.
Pejabat pembuat kebijakan diantaranya adalah:
a. Legislatif
Legislatif
mengerjakan tugas yang berhubungan dengan tugas politik sentral dalam pembuatan
peraturan dan pembentukan kebijakan dalam suatu sistem politik. Legislatif
lebih berperan dalam pembentukan kebijakan di negara-negara demokratis daripada
di negara-negara otoriter.
b. Eksekutif
Efektifitas
pemerintah selaku lembaga eksekutif secara substansial tergantung pada
kepemimpinan eksekutif, baik dalam pembentukan kebijakan maupun dalam
pelaksanaan kebijakan.
c. Instansi
Administrasif
Instansi
administrasif merupakan sumber utama usulan perundang-undangan dibuat dalam
suatu sistem politik. Instansi administrasif tidak hanya mampu mengusulkan
perundangan yang dibutuhkan/diinginkan tetapi, secara aktif merekamendekati dan
berusaha untuk mendesakkan penggunaannya.
d. Lembaga
Peradilan
Tinjauan
hukum merupakan kekuasaan pengadilan
untuk untuk menentukan hukum bagi kegiatan legislatif dan cabang-cabang
eksekutif serta mengumumkan pembatalan dan tidak berlakunya bila didapati
kegiatan tersebut bertentangan dengan undang-undang.
Partisipasi
Non-Pemerintah dalam Pembuat Kebijakan
a. Kelompok
Kepentingan
Kelompok
Kepentingan merupakan sumber utama pemerintah dalam memroses
kebijakan-kebijakan public ke depan. Dari kelompok-kelompok kepentingan inilah,
biasanya pemerintah menggali keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhan warga
yang belum dapat diberikn atau disediakan dengan baik, sehingga dikemudian hari
pemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih komperhensif dan mampu menjawab
keinginan/tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya.
b. Partai
Politik
Di
Negara-negara demokratis sekalipun partai politik berperan sentral manakala
kompetisi pada pemilihan umum dalam rangka untuk mengawasi sekaligus mengisi
orang-orang di pemerintahan.
c. Warga
Negara Sebagai Individu
Warga
negara mempunyai hak untuk di dengarkan
dan pejabat mempunyai kewajiban untuk mendengarkan. Warga Negara sebagai
individu mempunyai peluang untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan
keputusan.
Aktor Kebijakan Publik
di Indonesia
1. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), perannya adalah untuk menetapkan UUD, Menetapkan
Tap MPR, dan Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
2. Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), perannya adalah untuk membentuk Undang- Undang bersama
dengan Presiden.
3. Presiden,
tugasnya untuk membentuk UU dengan persetujuan DPR, dan menetapkan Peraturan
Presiden pengganti Perpu.
4. Pemerintah,
seperti :
a. Presiden
sebagai kepala pemerintahan(pemerintah pusat).
b. Menteri,
menetapkan Peraturan Menteri atau Kepututusan menteri sebagai peraturan
pelaksanaan.
c. Lembaga
Pemerintah Non-Departemen, menetapkan peraturan-peraturan yang bersifat teknis,
yaitu peraturan pelaksanaan dari perundang-undangan yang lebih tinggi
derajatnya.
d. Direktorat
Jendral, Menetapkan/mengeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan yang bersifat
teknis dibidangnya masing-masing.
e. Badan-Badan
Negara Lainnya (BUMN, Bank Sentral, dan lain-lain), mengeluarkan/menetapkan
peraturan-peraturan pelaksanaan yang berisi perincian dari ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang mengatur di bidang tugas dan fungsinya masing-masing.
f. Pemerintah
Daerah Provinsi, menetapkan Peraturan Daerah Provinsi dengan persetujuan DPRD
Provinsi.
g. Pemerintah
Daerah Kota/Kabupaten, menetapkan Peraturan dengan persetujuan DPRD
Provinsi/Kotan Daerah Kabupaten/Kota.
h. Kepala
Desa, menetapkan peraturan dari keputusan desa dengan persetujuan Badan
Perwakilan Desa (BPD).
i.
Dewan Perwakilan Daerah Provinsi,
menetapkan Peraturan Daerah Provinsi bersama-sama dengan Pemerintah Daerah
Provinsi.
j.
Dewan Perwakilan Daerah Kota/Kabupaten,
menetapkan Peraturan Daerah Kota/Kabupaten bersama-sama dengan Pemerintah
Daerah Kota/Kabupaten.
k. Badan
Perwakilan Desa (BPD), menetapkan Peraturan Desa atau Keputusan Desa
bersama-sama dengan Kepala Desa.
J.
Sumber
Kebijakan Publik dan Pendidikan
Pembentukan kebijakan publik dimulai dari adanya input (masukan) berupa
tuntutan dan dukungan dari masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan
bermasyarakat. Permasalahan kebijakan dipengaruhi oleh faktor eksternal yang
terutama dipengaruhi oleh globalisasi dan faktor internal yang terutama
dipengaruhi kemampuan manusianya. Kebijakan publik dan pendidikan dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi dan, lingkungan. Sumber atau input
kebijakan publik dan pendidikan, diantaranya adalah isu-isu strategis, yaitu mengenai kondisi darurat, masalah ekonomi, masalah politik, masalah publik yang mendasar, masalah hukum, berita media masa (yang diberitakan).
0 komentar:
Posting Komentar