Pages

Rabu, 11 Januari 2017

KAJIAN PUSTAKA

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Habits of mind
Menurut Aristotle (Canfields & Watkins, 2008), kesuksesan individu sangat ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Terdapat beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh individu sukses dan kreatif sehingga membedakannya dengan individu-individu pada umumnya. Apa itu kebiasaan? Kebiasaan adalah perilaku yang dibentuk oleh pengulangan berkelanjutan (American Heritagc Dictionary, 1994). Kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan semakin kuat dan menetap pada diri individu sehingga sulit diubah. Dalam hal ini kebiasaan tersebut telah membudaya pada diri individu.
Salah satu jenis kebiasaan yang dipandang sangat mempengaruhi kesuksesan individu adalah kebiasaan berpikir (habit of mind). Habits of mind (HOM) mengisyratkan bahwa perilaku membutuhkan suatu kedisiplinan pikiran yang dilatih sedemikian rupa, sehingga menjadi kebiasaan untuk berusaha terus melakukan tindakan yang lebih bijak dan cerdas. Hal ini dapat dipahami karena segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh seorang individu merupakan konsekuensi dari kebiasaan berpikirnya. Costa dan Kallick (2008) mendefinisikan kebiasaan berpikir sebagai kecenderungan untuk berperilaku secara intelektual atau cerdas ketika menghadapi masalah, khususnya masalah yang tidak dengan segera diketahui solusinya. Ketika menghadapi masalah, siswa cenderung membentuk pola perilaku intelektual tertentu yang dapat mendorong kesuksesan individu dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Dalam konteks matematika, Millman dan Jacobbe (2008) mengidentifikasi beberapa kebiasaan berpikir matematis sebagai berikut.
a. Mengeksplorasi ide-ide matematis.
b. Merefleksi kebenaran jawaban.
c. Mengidentitikasi strategi pemecahan masalah yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah dalam skala lebih luas .
d. Bertanya pada diri sendiri apakah terdapat "sesuatu yang lebih" dan aktivitas matematika yang telah dilakukan (generalisasi).
e. Memformulasi pertanyaan.
f. Mengkonstruksi contoh.

Kemudian, Costa dan Kallick (2008) mengidentifikasi enambelas karakteristik kebiasaan berpikir tersebut yaitu sebagai berikut:
1) Bertahan atau pantang menyerah. Ketika menghadapi masalah, individu berusaha menganalisa masalah, kemudian mengembangkan sistem, struktur, atau strategi untuk memecahkan masalah tersebut, dan ketika ia gagal menerapkan suatu strategi, ia segera mencari alternatif solusi lainnya. Individu yang tidak memiliki sifat bertahan ketika menghadapi masalah, maka ia akan masalah tadi.
2) Mengatur kata hati. Individu yang dapat mengatur kata hatinya akan berpikir reflektif dan berhati-hati. Sebelum bertindak ia menyusun rencana kegiatan, berusaha memahami petunjuk untuk merancang strategi, kemudian mengumpulkan informasi yang relevan, serta mempertimbangkan beragam alternatif dan konsekuensinya.
3) Mendengarkan pendapat orang lain dengan rasa empati. Pendengar yang baik bukan berarti ia selalu setuju dengan pendapat orang lain tetapi ia mencoba memahami pendapat orang lain dengan rasa empati.
4) Berpikir luwes. Individu yang berpikir luwes dan reflektif tetap menunjukkan rasa percaya diri, namun ia bersifat terbuka dan mampu mengubah pandangannya ketika memperoleh informasi tambahan.
5) Berpikir metakognitif. Individu yang berpikir metakognitif akan memahami apa yang diketahui dan yang tidak diketahuinya, memperkirakan sesuatu secara komparatif, serta memonitor pikirannya, persepsinya, keputusannya dan perilakunya.
6) Berusaha bekerja teliti dan tepat. Individu dengan karakteristik ini akan menghargai pekerjaan orang lain, bekerja teliti, berusaha mencapai standar yang tinggi, dan belajar berkelanjutan, dan berusaha memperbaiki yang dikerjakannya untuk memperoleh hasil yang lebih akurat.
7) Bertanya dan mengajukan masalah secara efektif. Individu dengan karakteristik ini ketika bertanya disertai dengan permintaan data pendukung, penjelasan, dan atau informasi yang relevan.
8) Memanfaatkan pengalaman lama untuk membentuk pengetahuan baru, Individu dengan karakteristik ini akan melakukan analogi dan berusaha mengaitkan pengalaman lama terhadap kasus serupa yang dihadapi
9) Berpikir dan berkomunikasi secara jelas dan tepat. Individu dengan karakteristik ini berkomunikasi dan mendefinisikan istilah dengan hati-hati, menggunakan bahasa yang tepat, nama yang benar, dan menghindar generalisasi yang berlebihan.
10) Memanfaatkan indera dalam mengumpulkan dan mengolah data. Individu dengan karakteristik ini memanfaatkan indera yang tajam, berpikir intuitif dan memperkirakan solusi sebelum tugas diselesaikan secara analitik.
11) Mencipta, berkayal, dan berinovasi. Individu dengan karakteristik ini memandang masalah dari sudut pandang yang berbeda, dan memiliki motivasi intrinsik.
12) Bersemangat dalam merespons. Individu dengan karakteristik ini bekerja dengan penuh semangat, dan senang melakukannya.
13) Berani bertanggung jawab dan menghadapi resiko. Individu yang memiliki karakteristik ini tidak takut gagal, dapat menerima ketidakpastian disertai dengan resiko yang diperkirakan.
14) Humoris. Individu yang humoris memandang situasi yang dihadapi sebagai sesuatu yang penting, dan memberikan apresiasi ke pada orang lain.
15) Berpikir saling bergantungan. Manusia sebagai mahluk sosial selalu berberhubungan dengan manusia lainnya,. saling membutuhan, saling memberi dan menerima, dan lebih berpandangan kekitaan dari pada keakuan.
16) Belajar berkelanjutan. Sejalan dengan pandangan belajar sepanjang hayat, manusia akan belajar berkelanjutan, mencari sesuatu yang baru dan lebih baik, berusaha meningkatkan diri, dan memandang masalah, situasi, tekanan, konflik, dan lingkungan sebagai peluang untuk maju.
Dengan demikian, pandangan Millman dan Jacobbe (2008) serta ke-enam belas karakteristik kebiasaan berpikir (habits of mind) di atas, dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika, untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan berpikir matematis, misalnya kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis, dan kemampuan pemecahan masalah matematis melalui pengembangan kebiasaan-kebiasaan berpikir matematis siswa.

B.     Strategi Habits of mind
Strategi Habits of mind (HOM) matematis adalah sebuah strategi untuk mengembangkan kemampuan berpikir melalui pembiasaan atau pembudayaan berpikir. Millman dan Jacobbe (2008) mengatakan bahwa strategi tersebut terdiri dari enam komponen, yaitu: mengeksplorasi ide-ide matematis, merefleksi kesesuian atau kebenaran jawaban, mengidentifikasi strategi pemecahan masalah untuk diterapkan pada skala yang lebih luas, bertanya pada diri sendiri tentang aktivitas matematika yang telah dilakukan, memformulasi pertanyaan, dan mengkonstruksi contoh. Pembiasaan dan pembudayaan berpikir seperti di atas yang berlangsung bersinambungan memberi peluang tumbuhnya kemampuan disposisi pada diri siswa. Kebiasaan-kebiasaan seperti di atas bila dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan akan berimplikasi pada terbentuknya kemampuan (ability) dalam diri siswa. Misalnya kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan atau kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Dalam pembelajaran dengan strategi HOM matematis, aktivitas- mengeksplorasi ide-ide matematis akan mendorong siswa untuk memahami masalah dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan strategi HOM matematis dalam pembelajaran matematika berpotensi untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Hal itu didukung hasil penelitian Jacobbe (Millman dan Jacobbe, 2008) yang menunjukkan bahwa penggunaan strategi dengan melibatkan enam komponen tersebut dapat meningkatkan kinerja siswa dalam menyelesaikan masalah.
Berikut diuraikan komponen-komponen strategi HOM matematis beserta perannya dalam pengembangan kemampuan berpikir matematis siswa.


1) Mengeksplorasi ide-ide matematis
Eksplorasi ide-ide matematis mencakup identifikasi data, fakta, informasi , atau strategi pemecahan masalah yang sesuai. Dalam hal ini, untuk mengeksplorasi ide-ide matematis dapat digunakan teknik brainstorming. Menurut Costa dan Kallick (2008), brainstorming adalah strategi pengembangan ide yang digunakan secara kelompok sedemikian sehingga setiap anggota kelompok secara, bebas mengemukakan ide-idenya. Ide kunci brainstorming adalah penggunaan suatu ide untuk menstimulasi munculnya ide-ide lainnya. Selama proses brainstorming, semua ide diterima, direkam, dan tidak dikritisi dengan selanjutnya ide-ide tersebut ditinjau kesesuaiannya.
Prinsip yang dapat digunakan untuk mendorong siswa dalam mengeksplorasi ide-ide matematis adalah menunda evaluasi, memedulikan kuantitas, memberikan kebebesan berpikir. Prinsip menunda evaluasi dimaksudkan adalah menekankan agar guru tidak segera mengevaluasi atau menilai kebenaran atau kesesuaian suatu ide dan dikemukakan siswa. Prinsip memedulikan kuantitas menekankan pada pentingnya pengembangan sebanyak mungkin ide. Jika terdapat ide-ide yang secara kuantitas memadai, maka peluang untuk memperoleh ide yang berkualitas semakin besar. Prinsip memberikan kebebasan berpikir menekankan pada pemberian kebebasan kepada siswa untuk menghasilkan ide-ide yang tidak biasa. Menurut Takahashi (2006), untuk lebih mengembangkan kebiasaan siswa dalam mengeksplorasi ide-ide matematis, pembelajaran matematika dapat menggunakan soal terbuka (open ended problem), yang mempunyai banyak solusi atau strategi penyelesaian. Soal terbuka memungkinkan siswa menjadi lebih aktif dalam mengekspresikan ide-ide mereka dalam pembelajaran matematika. Dengan soal terbuka, siswa juga mempunyai banyak kesempatan untuk secara kemprehensif menggunakan pengetahuan dan keterampilan mereka.
Dengan demikian, penerapan strategi HOM matematis, yang salah satu komponennya adalah mengeksplorasi ide-ide matematis, berpotensi untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif. disposisi matematis, dan persepsi terhadap kreativitas.
2) Merefleksi kesesuaian atau kebenaran jawaban
Komponen berikutnya dari strategi HOM Matematis adalah merefleksi kesesuaian atau kebenaran jawaban. Komponen ini merupakan representasi dari tahapan lookina back (evaluaate solution) pada model pemecahan masalah Polya (1973), yaitu mengevaluasi atau menelaah kembali kesesuaian atau kebenaran solusi. Merefleksi kesesuaian jawaban maupun strategi pemecahan masalah penting dilakukan dalam proses pemecahan masalah maupun dalam kegiatan pembelajaran matematika secara umum. Tahapan merefleksi atau lookina, back menurut Millman dan Jacobbe (2008) dapat membantu mengkonsolidasi pengetahuan siswa dan menata pemikirannya serta mengembangkan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah.
Pada umumnya, melakukan refleksi belum menjadi kebiasaan siswa pada umumnya. Menurut Mould dan Ragen (2008), pada kenyataannya, siswa sering tidak menyadari apa yang mereka pikir dan lakukan. Ketika ditanya, "bagaimana kamu menyelesaikan masalah itu?", sering siswa menjawab, "saya tidak tahu, saya hanya mengerjakannya". Mereka tidak mampu menjelaskan langkah-langkah yang mereka gunakan untuk menyelesaikan masalah. Mereka tidak dapat mentransformasi ide-ide mereka dalam bentuk kalimat yang jelas dan bisa dipahami orang lain. Terhadap hal ini, guru dapat mendorong siswa melakukan refleksi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: "bagaimana kamu menyelesaikan masalah itu?", "bagaimana kamu mengetahui bahwa jawabanmu benar?", "apakah ada cara lain untuk menyelesaikan masalah ini?", dan sebagainya.
3) Memformulasi pertanyaan
Menurut Einstein (Costa dan Kallick, 2008), memformulasi pertanyaan atau masalah sering lebih esensial daripada solusi masalah itu sendiri. Mengajukan pertanyaan adalah aktivitas yang biasa dilakukan guru untuk melihat kemungkinan baru dari masalah lama adalah sangat penting dalam menstimulasi kemampuan berpikir siswa. Sesuai dengan kecenderungan pembelajaran matematika saat ini yang lebih mengedepankan aktivitas siswa dalam membangun makna atau pengetahuannya, guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif membangun kemampuan bertanya. Mengembangkan kebiasaan bertanya dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif.
Berdasarkan penelitian Leung (1997), terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan mengajukan pertanyaan. Sedangkan menurut Killpatrik (Christou et al, 1999), kualitas pertanyaan yang dibuat siswa menggambarkan kemampuan siswa menyelesaikan masalah. Aktivitas bertanya juga dapat penumbuhkan salah satu aspek disposisi matematis, yakni keingintahuan (curiosity). Dengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan situasi atau masalah, keingintahuan siswa semakin berkembang.
Dalam penelitian Leung, jenis pertanyaan yang dikembangkan agar menjadi kebiasaan siswa adalah "what if not ...?" atau "what happen if ...?" Pertanyaan jenis demikian akan mendorong siswa menghasilkan ide-ide kreatif. Serupa dengan hasil penelitian Wardani (2009), penggunaan teknik: bertanya "what if not" dalam pembelajaran dengan pendekatan inquiri dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Jenis pertanyaan ini dapat digunakan untuk memodifikasi situasi atau syarat yang terdapat pada soal-soal yang telah diselesaikan. Siswa dapat mengubah atau menambah informasi atau data pada soal semula, mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan kondisi atau situasi soal semula, dan mengubah situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap mempertahankan data atau informasi yang ada pada soal semula.
4) Generalisasi
Komponen berikutnya dalam strategi HOM matematis adalah mengidentifikasi apakah terdapat "sesuatu yang lebih" dari aktivitas matematika yang dilakukan dan mengidentifikasi strategi pemecahan masalah yang dapat diterapkan pada masalah dalam skala lebih luas. Kedua komponen ini sesungguhnya adalah menggeneralisasi yakni menggeneralisasi pengetahuan atau konsep dan strategi pemecahan masalah.
Ketika menghadapi masalah, siswa didorong untuk menggunakan strategi yang bersifat informal untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Lim (2009), guru sebaiknya tidak mengenalkan algoritma atau strategi formal terlalu dini kepada siswa untuk menyelesaikan masalah. Siswa perlu diberikan kesempatan untuk menggunakan algoritma atau formula mereka sendiri berdasarkan pengetahuan yang mereka ketahui. Selanjutnya siswa melakuan proses metakognitif untuk memeriksa apakah strategi penyelesaian masalah yang digunakan dapat diterapkan pada masalah dalam skala lebih luas. Proses metakognitif juga dilakukan untuk memeriksa atau mengidentifikasi apakah proses yang dilakukan siswa mengarah pada penemuan suatu konsep matematis. Guru perlu membantu siswa untuk melakukan generalisasi, misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memberikan acuan. Dalam hal ini menurut Goetz (2004), beberapa jenis pertanyaan yang dapat diajukan adalah: "apa yang terjadi jika ...?", "bagaimana jika tidak?", "apakah kamu dapat melihat polanya?", "apakah kamu dapat memprediksi pola berikutnya?", "apakah kesamaan dan perbedaan strategi penyelesaian yang kamu gunakan dengan strategi temanmu?", "apakah strategi yang kamu gunakan dapat digunakan untuk menyelesikan masalah lain?", dan sebagainya. Aktivitas menggeneralisasi mengarah pada konstruksi konsep-konsep matematis maupun strategi penyelesaian masalah yang bersifat umum. Hal demikian sejalan dengan pandangan konstruktivisme (Hein, 1996), yakni siswa secara aktif mengkonstruksi sendiri. Aktivitas demikian juga berpotensi menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif. Siswa didorong untuk berpikir fleksibel dalam mengeksplorasi berbagai strategi penyelesaian masalah yang sesuai. Aktivitas demikian sangat mungkin akan menghasilkan strategi pemecahan masalah yang bersifat unik atau baru, setidaknya bagi siswa atau kelompok siswa yang menemukannya.
5) Mengkonstruksi contoh
Menurut Liz et al (2006), pemberian contoh berperan penting dalam pengembangan matematika sebagai disiplin ilmu dan dalam pembelajaran matematika. Suatu konsep yang abstrak dan kompleks menjadi relatif mudah dipahami bila diberikan contoh-contoh yang sesuai. Sejalan dengan itu, Ia mengklasifikasikan tiga jenis contoh, yaitu contoh generik atau contoh umum (genenic example), contoh penyangkal atau lawan contoh (counter-ewenzple), dan atau non-contoh (non-example). Contoh generik adalah contoh suatu konsep, prosedur, atau teorema yang bersifat umum. Contoh penyangkal digunakan untuk menguji berlakunya suatu dugaan atau konjektur sebelum membuktikannya secara formal . Sedangkan non-contoh digunakan untuk memperjelas definisi suatu konsep. Pemberian non-contoh akan memperjelas apakah suatu objek merupakan contoh konsep atau bukan.
Dalam pembelajaran matematika, siswa perlu diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi contoh. Menurut Zaslavsky (Liz et al, 2006), memberikan kesempatan kepada siswa untuk menukonstruksi contoh merupakan strategi efektif untuk mengubah insiatif dari guru kepada siswa. Manfaatnya adalah guru dapat mendeteksi ketidakpahaman siswa yang tercermin dari contoh yang dikonstruksi siswa tersebut. Menurut Dahlberg dan Housman (Liz et al, 2006), mengkonstruksi contoh merupakan tugas kompleks yang menuntut kemampuan siswa untuk mengaitkan beberapa konsep. Jika siswa tidak diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi berbagai jenis contoh, terlebih contoh penyangkal atau non-contoh, dimungkinkan siswa akan membuat generalisasi yang tidak tepat. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk memberikan tugas yang memungkinkan siswa memberikan reaksi "saya mampu mengerjakannya". Keyakinan diri siswa tidak dapat dibangun secara terpisah dari kesuksesan siswa dalam mengerjakan tugas. Ketika siswa menyadari bahwa mereka mampu melakukan tugas dengan baik, keyakinan diri merekapun tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa mengembangkan kebiasaan mengkonstruksi contoh akan berimplikasi pada terbentuknya kemampuan berpikir kreatif. Watson dan Mason (Millman & Jacobbe, 2008) berpendapat bahwa salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menumbuhkan kreativitas siswa adalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi contoh-contoh mereka sendiri.
Mengkonstruksi contoh juga dapat menumbuhkan kemampuan disposisi matematis siswa. Siswa yang mampu mengkonstruksi contoh sesuai dengan kriteria tertentu akan memiliki kepercayaan diri, yang merupakan salah satu aspek matematis.


C.    Masalah Matematis
Suatu persoalan dikatakan sebagai masalah apabila mendorong seseorang untuk menyelesaikan persoalan tersebut akan tetapi secara langsung ia tidak tahu harus bagaimana  menyelesaikannya. Hal ini sejalan dengan Ruseffendi (2001) yang mengemukakan bahwa suatu soal merupakan soal pemecahan masalah bagi seseorang bila ia memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyelesaikannya, tetapi pada saat ia memperoleh itu ia belum tahu cara menyelesaikannya.
Adapun masalah dalam pembelajaran matematika dapat disajikan dalam bentuk soal cerita, soal yang tidak rutin, ilustrasi gambar, mengaplikasikan persoalan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau kejadian lain. Selanjutnya masalah tersebut dikatakan masalah matematika karena mengandung konsep matematika.
Ada dua jenis masalah matematika, yaitu masalah yang bertujuan untuk mencari nilai yang dicari dan masalah yang bertujuan untuk membuktikan suatu pernyataan dalam matematika benar atau tidak benar (Rofiqoh, 2015).

D.    Pemecahan Masalah Matematis
Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu segera dapat dicapai.
Dalam dunia pendidikan khususnya siswa akan menghadapi masalah jika materi pembelajaran dengan soal atau pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan soal cerita yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Pertanyaan tersebut menjadi masalah bagi siswa apabila pertanyaan itu harus dipahami dan merupakan tantangan yang harus dipecahkan namun mereka sulit untuk memecahkannya.
Kemudian Polya mengelompokkan masalah dalam matematika menjadi dua kelompok yaitu:
a. Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret termasuk teka-teki. Bagian utama dari suatu masalah adalah apa yang dicari, bagaimana data yang diketahui, dan bagaimana syaratnya. Ketiga bagian utama tersebut merupakan landasan untuk dapat menyelesaikan masalah jenis ini.
b. Masalah untuk membuktikan adalah menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar, salah atau tidak kedua-duanya. Bagian utama dari masalah ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya. Kedua bagian utama tersebut sebagai landasan utama untuk dapat menyelesaikan masalah jenis ini.
Di pihak lain Hudojo (1979:160) menyatakan bahwa pemecahan masalah mempunyai fungsi penting dalam kegiatan belajar mengajar matematika, sebab melalui pemecahan masalah siswa dapat melatih dan mengintegrasikan konsep-konsep, teorema-teorema dan keterampilan yang telah dipelajarinya sebelumnya untuk memecahkan masalah
Branca, (Mahmuda 2012) mengungkapkan  bahwa (1) kemampuan pemecahan masalah merupakan tujuan umum pengajaran  matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika; (2) pemecahan masalah meliputi metode, prosedur, dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika; dan (3) pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika.
Adapun beberapa tahapan pemecahan masalah yang dikenalkan oleh para matematikawan dan para pengajar matematika seperti tahap pemecahan masalah menurut Polya, Krulik dan Rudnick, serta Dewey sebagai berikut.
Menurut Polya ada empat tahap pemecahan masalah dengan rincian sebagai berikut.
1.      Memahami masalah (understand the problem)
Tahap pertama pada penyelesaian masalah adalah memahami soal. Siswa perlu mengidentifikasi apa yang diketahui, apa saja yang ada, jumlah, hubungan dan nilai-nilai yang terkaitserta apa yang sedang mereka cari. Beberapa saran yang dapa membantu   siswa   dalam   memahami   masalah   yang   kompleks:   (1) memberikan pertanyaan mengenai apa yang diketahui dan dicari, (2) menjelaskan masalah sesuai dengan kalimat sendiri, (3) menghubungkannya dengan masalah lain yang serupa, (4) fokus pada bagian yang penting dari masalah tersebut, (5) mengembangkan model, dan (6) menggambar diagram.
2.      Membuat rencana (devise a plan)
            Siswa   perlu   mengidentifikasi   operasi   yan terliba serta   strateg yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini bisa dilakukan siswa dengan cara seperti: (1) menebak, (2) mengembangkan sebuah model, (3) mensketsa diagram, (4) menyederhanakan masalah, (5) mengidentifikasi pola, (6) membuat tabel, (7) eksperimen dan simulasi, (8) bekerja terbalik, (9) menguji semua kemungkinan, (10) mengidentifikasi sub-tujuan, (11) membuat analogi, dan  (12) mengurutkan data/informasi.
3.      Melaksanakan rencana (carry out the plan)
Apa yang diterapkan jelaslah tergantung pada apa yang telah direncanakan sebelumnya dan juga termasuk hal-hal berikut: (1) mengartikan informasi yang diberikan ke dalam bentuk matematika; dan (2) melaksanakan strategi selama proses dan penghitungan yang berlangsung. Secara umum pada tahap ini siswa perlu mempertahankan rencana yang sudah dipilih. Jika semisal rencana tersebut tidak bisa terlaksana, maka siswa dapat memilih cara atau rencana lain.
4.      Melihat kembali (looking back)
Aspek-aspek berikut perlu diperhatikan ketika mengecek kembali langkah- langkah  yang  sebelumnya  terlibat  dalam  menyelesaikan  masalah,  yaitu: (1) mengecek kembali semua informasi yang penting yang telah teridentifikasi; (2) mengecek  semua  penghitungan  yang  sudah  terlibat;  (3)  mempertimbangkan apakah  solusinya logis;  (4) melihat  alternatif penyelesaian  yang lain;  dan  (5) membaca pertanyaan kembali dan bertanya kepada diri sendiri apakah pertanyaannya sudah benar-benar terjawa
Sementara itu, menurut Krulik dan Rudnick, sebagaimana dikutip oleh Tambunan (2014), ada lima tahap yang dapat dilakukan dalam memecahkan masalah yaitu sebagai berikut.

1.      Membaca (read)
Aktifitas yang dilakukan siswa pada tahap ini adalah mencatat kata kunci, bertanya kepada  siswa  lain    apa  yang sedang  ditanyakan  pada masalah,  atau menyatakan kembal masalah ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.
2.      Mengeksplorasi (explore)
Proses ini meliputi pencarian pola untuk menentukan konsep atau prinsip dari masalah. Pada tahap ini siswa mengidentifikasi masalah yang diberikan, menyajikan masalah ke dalam cara yang mudah dipahami. Pertanyaan yang digunakan pada tahap ini adalah, seperti apa masalah tersebut”?. Pada tahap ini biasanya dilakukan kegiatan menggambar atau membuat tabel.
3.      Memilih suatu strategi (select a strategy)
Pada tahap ini, siswa menarik kesimpulan atau membuat hipotesis mengenai bagaimana cara menyelesaikan masalah yang ditemui berdasarkan apa yang sudah diperoleh pada dua tahap pertama.
4.      Menyelesaikan masalah (solve the problem)
Pada tahap ini semua keterampilan matematika seperti menghitung dilakukan untuk menemukan suatu jawaban.
5.      Meninjau kembali dan mendiskusikan (review and extend)
Pada tahap ini, siswa mengecek kembali jawabannya dan melihat variasi daro cara memecahkan masalah.
Sedangkan tingkat pemecahan masalah menurut Dewey, sebagaimana dikutip oleh Tambunan (2014) adalah sebagai berikut.
1.      Menghadapi  masalah  (confront  problem),  yaitu  merasakan  suatu  kesulitan. Proses ini bisa meliputi menyadari hal yang belum diketahui, dan frustasi pada ketidakjelasan situasi.
2.      Pendefinisian masalah (define problem)yaitu mengklarifikasi karakteristik- karakteristik situasi. Tahap ini meliputi kegiatan mengkhususkan apa yang diketahui dan yang tidak diketahui, menemukan tujuan-tujuan, dan mengidentifikasi kondisi-kondisi yang standar dan ekstrim.
3.      Penemuan solusi (inventory several solution), yaitu mencari solusi. Tahap ini bisa meliputi kegiatan memperhatikan pola-pola, mengidentifikasi langkah- langkah dalam perencanaan, dan memilih atau menemukan algoritma.
4.      Konsekuensi  dugaan   solusi   (conjecture   consequence  of   solution),   yaitu melakukan rencana atas dugaan solusi. Seperti menggunakan algoritma yang ada, mengumpulkan data tambahan, melakukan analisis kebutuhan, merumuskan kembali masalah, mencobakan untuk situasi-situasi yang serupa, dan mendapatkan hasil (jawaban).
5.      Menguji  konsekuensi  (test  concequnces),  yaitu  menguji  apakah  definisi masalah cocok dengan situasinya. Tahap ini bisa meliputi kegiatan mengevaluasi apakah hipotesis-hipotesisnya sesuai?, apakah data yang digunakan  tepat?apakah  analisis  yang  digunakan  tepat?,  apakah  analisis sesuai dengan tipe data yang ada?, apakah hasilnya masuk akal?, dan apakah rencana yang digunakan dapat diaplikasikan di soal yang lain?.
Berdasarkan tahap pemecahan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, disimpulkan bahwa aktivitas pemecahan masalah dari Polya, Dewey, serta Krulik dan Rudnick hampir sama.

E.     Disposisi Matematis
Dalam Menurut Herman (2006) disposisi matematis siswa adalah kecenderungan siswa untuk berpikir dan berbuat dengan cara yang positif. Sementara NCTM (2003) menyatakan disposisi matematis adalah keterkaitan dan apresiasi terhadap matematika yaitu suatu kecenderungan untuk berpikir dan bertindak dengan cara yang positif. Dari definisi tersebut dikatakan disposisi merupakan suatu kecenderungan untuk bersikap, bertindak, atau bertingkah laku terhadap suatu perlakuan tertentu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, menurut Sumarmo (2005) disposisi matematis adalah keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematika. Menurut Yuanari (2011: 20-21) seorang siswa akan gagal dalam menyelesaikan soal jika siswa tersebut sudah kehilangan kepercayaan dirinya, dan ketika siswa kepercayaan dirinya muncul mereka dapat mengembangkan kemampuan/keterampilan menggunakan prosedur dan penalaran adaptifnya. Dengan demikian disposisi matematis merupakan faktor penting dalam menentukan kesuksesan pendidikan. Disposisi matematis tampak ketika siswa menyelesaikan tugas matematika, apakah dikerjakan dengan percaya diri, tanggung jawab, tekun, pantang putus asa, merasa tertantang, memiliki kemauan untuk mencari cara lain dan melakukan refleksi terhadap cara berpikir yang telah dilakukan.
Hal ini sejalan dengan NCTM (1989: 233), yang menyatakan bahwa
The assessment of students’ mathematical disposition should seek information about their (1) confidence in using mathematics to solve problems, to communicate ideas, and to reason; (2) flexibility in exploring mathematical ideas and trying alternative methods in solving problems; (3) willingness to persevere in mathematical tasks; (4) interest, curiosity, and inventiveness in doing mathematics; (5) inclination to monitor and reflect on their own thinking and performance; (6) valuing of the application of mathematics to situations arising in other disciplines and everyday experiences; (7) appreciation of the role of mathematics in our culture and its value as a tool and as a language.
Sementara itu disposisi menurut Maxwell (2001), terdiri dari (1) inclination (kecenderungan), yaitu bagaimana sikap siswa terhadap tugas-tugas; (2) sensitivity (kepekaan), yaitu bagaimana kesiapan siswa dalam menghadapi tugas; dan (3) ability (kemampuan), yaitu bagaimana siswa fokus untuk menyelesaikan tugas secara lengkap; dan (4) enjoyment (kesenangan), yaitu bagaimana tingkah laku siswa dalam menyelesaikan tugas.
Ada komponen-komponen disposisi matematis menurut National Council of Teachers of Mathematics (1989), yaitu memuat tujuh komponen (1) percaya diri dalam menggunakan matematika, (2) fleksibel dalam melakukan kerja matematika (bermatematika), (3) gigih dan ulet dalam mengerjakan tugas-tugas matematika, (4) memiliki rasa ingin tahu dalam bermatematika, (5) melakukan refleksi atas cara berpikir, (6) menghargai aplikasi matematika, dan (7) mengapresiasi peranan matematika. Jadi, dapat dikatakan disposisi matematis siswa adalah kecenderungan siswa untuk berpikir dan berbuat dengan cara yang positif. Disposisi siswa terhadap matematika terwujud melalui sikap dan tindakan dalam memilih pendekatan untuk menyelesaikan tugas. Apakah dilakukan dengan percaya diri, keingintahuan mencari alternatif, tekun, dan tertantang serta kecendrungan siswa merefleksi cara berpikir yang dilakukannya dan disposisi matematis merupakan keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika. Disposisi matematika memuat tujuh komponen indikator yaitu: (1) percaya diri dalam menggunakan matematika, (2) fleksibel dalam melakukan kerja matematika (bermatematika), (3) gigih dan ulet dalam mengerjakan tugas-tugas matematika, (4) memiliki rasa ingin tahu dalam bermatematika, (5) melakukan refleksi terhadap cara berpikir dan kinerja pada diri sendiri dalam belajar matematika, (6) menghargai aplikasi matematika, dan (7) mengapresiasi peranan matematika/ pendapat tentang matematika.n dalam memilih pendekatan untuk menyelesaikan tugas.

F.     Penelitian yang Relevan
Peran penelitian sebelumnya sangat berguna bagi penulis untuk melakukan penelitian ini lebih lanjut. Berikut beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang peneliti lakukan.
Bety Miliyawati (2014) telah melakukan penelitian dengan judul “Urgensi Strategi Disposition Habits of mind Matematis” yang memberikan kesimpulan bahwa kesuksesan individu sangat ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya, secara terus menerus akan semakin kuat dan menetap pada diri individu sehingga sulit diubah. Perilaku tersebut membutuhkan suatu kedisiplinan pikiran yang dilatih sedemikian rupa, sehingga menjadi kebiasaan untuk berusaha terus melakukan tindakan yang lebih bijak dan cerdas.
Strategi HOM matematis terdiri dari enam komponen, yaitu: mengeksplorasi ide-ide matematis, merefleksi kesesuian atau kebenaran jawaban, mengidentifikasi strategi pemecahan masalah pada skala yang lebih luas, bertanya pada diri sendiri tentang aktivitas matematika yang telah dilakukan, memformulasi pertanyaan, dan mengkonstruksi contoh. Kebiasaan-kebiasaan seperti di atas perlu dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan dalam pembelajaran maka akan menghasilkan peserta didik yang unggul dalam kemampuan berpikir matematis dan yang terpuji.
Kemudian penelitian ZA Qhairy (2014) dengan judul “Model pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis siswa”. Berikut kesimpulan penelitian beliau:
1.        Model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis siswa.
2.        Peningkatan kemampuan berpikir kritis yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
3.        Peningkatan kemampuan disposisi matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

Selain itu penelitian yang relevan lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Diah Astri Pangestika dengan judul “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis Siswa Kelas VIII F SMPN 4 Purwokerto Melalui Pembelajaran Generatif” dimana hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa Model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan disposisi matematis siswa dan Peningkatan kemampuan berpikir kritis yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Serta, peningkatan kemampuan disposisi matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

0 komentar:

Posting Komentar