Pages

Rabu, 21 Januari 2015

Cerpen "Tuhan Kenapa Aku Berbeda???"



Butiran kristal itu kemballi jatuh,membasahi pelipis Meisyha yang merona. Setiap dipandanginya sosok seorang wanita yang telah berjuang demi melahirkannya itu dari balik bingkai kaca, air matanya pasti jatuh berlinang membasahi kenangan pahit yang kembali membawa luka pada hatinya itu. Dihapusnya kini sisa air mata yang menempel di pipi dengan lengan bajunya, diusapnya dengan betul-betul agar air matanya tak terlihat kembai. Meisyha pun memandang wajahnya yang merah dalam cermin, membuatnya terkejut melihat matanya yang sembab.
“Astazim.. gimana nih, mata gue pake sembab segala lagi !”ucap Meisyha, sambil menempelkan bedak kebawah matanya berusaha menyembunyikan matanya yang sembab.
“Nah kalo gini kan gak terlalu keliatan, oke the time to go to school !” ucap Meisyha, langsung mengambil tasnya bergegas pergi, namun saat akan melangkah dia pun kembali memandangi foto ibunya yang sangat disayanginya itu.
“Ma.. aku berangkat dulu ya..” dikecupnya foto tersebut, dan Meisyha pun segera berangkat untuk meninggalkan rumah.
Saat Meisyha sudah menuruni tangga, tak sengaja ia pun bertemu dengan seorang laki-laki yang telah menyakiti hatinya dan mengkhianati ibu yang begitu disayanginya, yaitu ayahnya sendiri, sedang bersama perempuan yang paling dibenci olehnya didunia ini yang telah merusak kehangatan keluarga yang kini tak pernah menghampiri Meisyha lagi. Meisyha pun mencoba tak memperdulikan, dan melewati kedua orang tersebut tanpa perlu menyapa. Namun langkahnya harus terhenti karena ayahnya memanggil dirinya.
“Meisyha, kamu gak salam sama ayah dan ibu ?” teriak ayahnya, membuat Meisyha harus membalikan tubuhnya.
“Oh gitu ya ? penting ?” jawab Meisyha sinis, dan langsung berlalu meninggalkan rumahnya menuju sekolah tanpa memerdulikan kedua orang dibelakangnya itu.
“Meisyha ! Meisyha !” teriak ayah Meisyha, namun Meisyha tak memperdulikan dan pergi meninggalkan ayahnya dengan linangan air mata.
***
Angin menerpa rambut Meisyha dengan lembut, memberikan kesejukkan sejenak menenangkan jiwa yang tadi sedang digemuruh oleh luapan emosi serta mengeringkan air mata yang tadi mengalir dari pelupuk mata Meisyha.
“Kenapa Sya ?” tanya Renia teman sebangku Meisyha , yang sedari tadi melamun didepan kelasnya.
“Gue gak pa-pa kok !” jawab Meisyha dengan datar tanpa ekspresi.
“Sya.. cerita dong sama kita.” Tambah Rakka, sahabat Meisyha sejak ia duduk dibangku satu SMA.
“Gue gk pa-pa sweer deh !” tegas Meisyha sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengah membentuk huruf V.
“Masalah bokap lo lagi ?” tanya Renia to the point, membuat matanya kembali berkaca tak kuasa membendung air mata, dan tanpa sadar Meisyha pun kembali menjatuhkan air mata.
“Sya.. lo gak pa-pa kan ?” tanya Rakka sambil mengusap rambut Meisyha dengan lembut.
“Gue capek Ka, kapan sih bokap gue ngerti ?” ucap Meisyha sambil berlinangan air mata mencoba meluapkan emosinya yang tertahan.
“Sabar Sya, bokap lo pasti sayang kok sama lo, percaya deh sama gue !” ucap Renia mencoba menenangkan Meisyha.
“Kalo dia sayang sama gue kenapa dia gak pernah mau ngertiin gue dan selalu maksain gue untuk menuruti perintah yang sama sekali gue gak mau seumur hidup gue !” ucap Meisyha yang meluapkan semua emosinya dalam kata-katanya tersebut.
Meisyha pun menunduk lemas, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya tak ingin siapapun tahu bahwa dirinya kini sedang menangis. Renia pun memeluk Meisyha begitu hangat dan erat, seakan tak ingin siapapun melukainya. Rakka yang tak kuat melihat sahabatnya terluka pun hanya bisa menutup mulutnya dengan tangan kanan, berusaha menahan emosinya.
***
“Kamu kenapa sih gak pernah mau nurut sama ayah !” teriak ayah Meisyha begitu kencang, hingga memenuhi seluruh penjuru rumah.
“Apa ayah bilang ? aku gak mau nurut ?” lawan Meisyha tak kalah kencangnya dengan sang ayah.
“Emang iya kan ? kamu tuh maunya apa sih ? ibu tuh udah tenang disana, kalo kamu gini terus ibu bakalan sedih disana !”
“Ayah tau apa tentang perasaan ibu hah ?! yang ayah tau cuma nyakitin ibu kan ! itu kan yang ayah tau, jadi jangan so ngasih tau aku deh gimana perasaan ibu sekarang !”
“Kamu itu ! durhaka sama orang tua ya ?!” teriak sang ayah dengan begitu murkanya.
“Sudah mas, tenang jangan emosi, dia anakmu jangan bicara seperti itu.” ucap Santi mencoba menenangkan suaminya.
Meisyha yang sudah muak melihat perempuan penghasut itu akhirnya pun memutuskan pergi dari rumah.
“Yaudah urusin aja tuh cewek ! gue emang gak penting kan ! fine !” kesal Meisyha dan beranjak pergi meninggalkan rumah.
Meisyha pun berlari meninggalkan rumah dengan linangan air mata, tak dapat membohongi perasaannya kalau sesungguhnya dirinya sangat menyayangi ayahnya. Tanpa Meisyha sadari ternyata ayahnya mengejarnya di belakang, entah mengapa hujan pun turun dengan deras seakan setuju untuk menutupi air mata Meisyha yang terus saja mengalir dari pelupuk matanya. Keadaan malam itu sangat gelap dan sepi Meisyha kini berjalan di atas licinnya aspal karena terguyur hujan, ayahnya terus saja memanggil dirinya berusaha menghentikan langkah Meisyha.
“Meisyha ! Meisyha tunggu nak !” teriak ayah Meisyha dari belakang.
Namun Meisyha tak memperdulikan ayahnya dan terus berlari. Tiba-tiba ayah Meisyha tersandung sesuatu, sehingga badannya yang kokoh tinggi besar itu pun roboh, Meisyha yang mengetahui keadaan ayahnya itu pun berhenti berlari dan berbalik melihat keadaan ayahnya sangat khawatir. Saat ayah Meisyha akan berusaha untuk bangkit kembali, tiba-tiba ada suara klakson yang mengaung memecah derasnya hujan, Meisyha yang terkejut itu pun teriak dengan spontan berusaha menyadarkan ayahnya agar segera berdiri, namun karena begitu terkejutnya ayahnya pun speechless dan tak bisa menggerakan tubuhnya, hanya memandang mobil yang semakin mendekat dengan mata yang terbelalak ketakutan.
“Ayaaaaaaaaah !!!!....” teriak Meisyha  memecah keheningan malam.
***
 Lampu ruang UGD menyala, menandakan bahwa ada seseorang yang sedang memerlukan pertolongan hidup. Banyak suster yang mondar-mandir keluar masuk ruangan UGD, membantu dokter untuk menyelamatkan seseorang yang sedang sekarat, begitu banyak darah yang mengalir dari tubuhnya yang kini terbaring kaku tak sadarkan diri. Selang oksigen terus saja disumbatkan ke hidungnya, berharap agar dia kembali hidup menatap hari dengan senyuman.
“Gimana keadaannya ?” ucap seorang cowok yang terengah-engah di balik ruang UGD.
“Om gak tau, dokternya belum keluar.” Jawab seorang lelaki setengah baya, dengan kemeja dan celana hitam yang basah kuyup.
“Ya Allah, semoga Meisyha gak kenapa-napa.” Lanjut seorang cewek yang menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya berdo’a sambil menatap Meisyha dari balik jendela pintu.
“Ini semua salah om ! harusnya om ngertiin Meisyha, Meisyha maafin ayah.” Lirih ayahnya Meisyha yang terduduk lemas di lantai.
“Om gak boleh ngomong gitu sekarang yang penting kita harus do’ain Meisyha supaya dia selamat.” Ucap Rakka berusaha menenangkan ayah Meisyha, sambil menepuk bahu ayah Meisyha.
“Iya om, om yang sabar ya, semoga Meisyha bisa melalui ini semua.” Tambah Renia menenangkan.
Setelah mendengar ucapan kedua sahabat anaknya itu pun akhirnya dia sedikit merasa tenang. Sudah hampir satu jam berlalu, namun lampu ruang UGD masih belum mati, menandakan masa-masa kritis masih terus berputar di lingkaran kehidupan Meisyha. Ayahnya yang sudah mulai panik pun mondar-mandir didepan ruang UGD tak sabar mendengar kabar yang akan diberikan oleh dokter. Lima menit kemudian lampu ruang UGD mati, dan para suster pun keluar, ayah Meisyha yang mengetahui hal itu pun langsung melonjak kaget dan menunggu dokter untuk keluar, hal serupa pun terjadi kepada kedua sahabat Meisyha, Rakka dan Renia.
“Gimana dok keadaan anak saya.” Tanya ayah Meisyha setelah dokter keluar dari ruang UGD.
“Maafkan saya Pak, saya sudah berusaha keras tapi kondisi anak bapak masih kritis, ada pembocoran pembuluh darah di otaknya.” Jelas dokter kepada ayah Meisyha.
“Dok, saya mohon dok, selamatkan anak saya berapapun akan saya bayar dok, asalkan anak saya selamat !” mohon ayah Meisyha sambil memegang lengan dokter.
“Maafkan saya Pak.” Ucap dokter putus asa dan meninggalkan ayah Meisyha, serta Rakka dan Renia.
Ayah Meisyha pun hanya tertunduk lemas, tak kuasa menerima kenyataan pahit yang diucapkan oleh dokter tersebut. Dia hanya menangis pilu, menyesal akan yang dilakukannya selam ini kepada anaknya, Rakka yang tak tega melihat keadaan ayah sahabatnya itu pun merangkul tubuh ayah Meisyha untuk bengkit dan menjenguk anaknya yang sedang tak sadarkan diri dalam ruang UGD, ayah Meisyha pun mengangguk menyetujui dan masuk kedalam melihat anaknya yang terbaring kaku tak sadarkan diri.
“Meisyha sayang, maafin ayah ya.. ayah selama ini gak ngertiin kamu, kamu cepet sadar ya nak.” Lirih ayah Meisyha, sambil membelai lembut rambut anaknya tersayang.
Renia yang tak kuat melihat keadaan itu pun hanya menunduk lemah dalam pelukan Rakka yang mencoba menenangkan. Meisyha yang mungkin mendengar isakan dan tangisan ayahnya itupun sadar. Ayah Meisyha yang sadar bahwa anaknya sudah siuman pun langsung tersenyum bahagia, Rakka dan Renia yang menyadarinya pun ikut tersenyum bahagia.
“Meisyha ?”
“Ayah..” ucap Meisyha lirih.
“Meisyha sayang kamu gak pa-pa kan ?” tanya ayahnya dengan nada yang begitu khawatir.
“Aku dimana yah ?” tanya Meisyha bingung.
“Kamu dirumah sakit nak, kamu udah nolong ayah dari maut.”
“Ayah maafin aku yah, sebenarnya aku sayang banget sama ayah, aku cinta ayah, maafin aku yah.” Sesal Meisyha kepada ayahnya, dengan tatapan yang begitu lekat seakan-akan dia tak pernah bertemu dengan ayahnya selama betahun-tahun lamanya.
Ayahnya pun menggeleng, “Gak sayang, harusnya ayah yang minta maaf, ayah gak bisa ngertiin kamu selama ini, jadi maafin ayah ya sayang, ayah akan selalu sayang sama kamu.” Ucap Ayahnya lirih sambil memandang Meisyha lekat-lekat.
“Syukurlah, makasih ya yah.” Ucap Meisyha, yang disusul anggukan dari ayahnya.
Meisyha pun memandang langit-langit menyusuri setiap sudut atap tersebut, seolah-olah dia bisa menembus memandang langit jagad raya. Di pandangnya orang yang berada disekelilingnya, ada ayahnya yang sedang memegang erat tangannya begitu hangat dan kasih sayang, dan dibelakang punggung ayahnya ada dua orang yang saling merangkul memandang Meisyha dengan senyuman bahagia, Rakka dan Renia. Saat matanya memandang kearah pintu dilihatnya sesosok perempuan yang sedang memandangnya dengan linangan air mata, Ibu tirinya. Meisyha yang terkejut pun akhirnya membalas air mata itu dengan senyuman tulus yang lembut, berisyarat bahwa perempuan itu dapat masuk melihatnya lebih dekat. Ibu tirinya yang seolah tau akan isyarat yang Meisyha berikan itupun masuk kedalam ruangan.
“Kamu gak kenapa-napa Sya ?” tanya perempuan itu.
Mendengar suara tersebut, ayah serta kedua sahabat Meisyha pun dengan refleks memandang kebelakang melihat siapa yang yang sedang menyapa Meisyha.
“Aku gak pa-pa kok, aku sekarang bisa tenang.” Ucap Meisyha yang spontan membuat ayahnya terkejut ketakutan.
“Kamu ngomong apa sih sayang.” Ucap Ayah Meisyha khawatir dengan ucapan anaknya tersebut.
“Sekarang aku bisa tenang yah, sekarang aku atu kalau Santi memang sangat mencintai ayah, aku sekarang sudah rela dan tenang. Aku akan ketemu Mama dan bicara kepadanya kalau disini ada Santi yang bisa merawat ayah dengan baik.” Ucap Meisyha, yang semakin membuat ayahnya khawatir.
“Kamu gak boleh ngomong gitu nak !”
“Santi..” ucap Meisyha yang pandangannya kini beralih kearah Santi.
“Iya sayang..” jawab Santi lirih.
“Aku titip ayah aku ya, jaga dia baik-baik jangan pernah kamu meninggalkan dia samapi kapanpun ya ?” pinta Meisyha dengan lirih, Santi pun hanya mengangguk lemas dengan deraian air mata.
“Meisyha kamu ngomong apa sih !” teriak ayah Meisyha dengan linangan air mata yang mulai bercucuran lagi.
“Ayah..” ucap Meisyha sambil membelai pipi ayahnya, “Ikhlasin aku yah.. ayah sayang kan sama Meisyha, ikhlasin aku yah..” pinta Meisyha lirih.
Ayahnya hanya menunduk lemas, sambil memegang tangan putrinya yang mulai dingin.
“Iya sayang ayah ikhlas.” Ucap ayahnya lirih dengan isakan, dan masih saja bersembunyi dibalik tangan dingin Meisyha.
Meisyha yang mendengar ucapan ayahnya pun kembali memandang langit-langit mencoba kembali menembus atap itu untuk melihat langit jagad raya. Meisyha yang tak kuasa menahan tubuhnya yang semakin mendingin pun akhirnya menutup matanya, meneteskan kristal bening terakhirnya.
Ayah Meisyha yang mengetahui bahwa anakanya sudah tak bernyawa lagi itu pun langsung mengguncang-guncang tubuh anaknya tak rela anaknya pergi meninggalkannya sendiri. Renia hanya dapat menangis dalam pelukan Rakka, dan Rakka pun hanya dapat memejamkan mata tak kuasa melihat sahabatnya menemui sang Maha Kuasa. Santi yang tak percaya dengan apa yang dilihat olehnya itu pun hanya terduduk lemas.
“Meisyhaaaaa !!!!!!....” teriak ayah Meisyha menuntun anaknya pergi menemui sang Khalik.
Anakku maafkan aku yang selalu tak ingin belajar memahamimu, kini diriku sadar betapa pentingnya dirimu dalam hidupku, memang benar penyesalan akan selalu datang terlambat. Kini penyesalan takkan ada gunanya lagi, yang dapat ku berikan hanya bait-bait do’a yang akan selalu mengiringimu bertemu sang Maha Kuasa, sayang titipkan salam cintaku kepada ibumu disana, jika waktunya tiba aku pun akan menemuimu dengan sejuta kebahagiaan yang akan kita rasakan selamanya.

0 komentar:

Posting Komentar