Butiran kristal itu
kemballi jatuh,membasahi pelipis Meisyha yang merona. Setiap dipandanginya
sosok seorang wanita yang telah berjuang demi melahirkannya itu dari balik
bingkai kaca, air matanya pasti jatuh berlinang membasahi kenangan pahit yang kembali membawa luka pada hatinya
itu. Dihapusnya kini sisa air mata yang menempel di pipi dengan lengan bajunya, diusapnya dengan
betul-betul agar air matanya tak terlihat kembai. Meisyha pun memandang
wajahnya yang merah dalam cermin, membuatnya terkejut melihat matanya yang
sembab.
“Astazim.. gimana
nih, mata gue pake sembab segala lagi !”ucap Meisyha, sambil menempelkan bedak
kebawah matanya berusaha menyembunyikan matanya yang sembab.
“Nah kalo gini kan
gak terlalu keliatan, oke the time to go
to school !” ucap Meisyha, langsung mengambil tasnya bergegas pergi, namun
saat akan melangkah dia pun kembali memandangi foto ibunya yang sangat
disayanginya itu.
“Ma.. aku berangkat
dulu ya..” dikecupnya foto tersebut, dan Meisyha pun segera berangkat untuk
meninggalkan rumah.
Saat Meisyha sudah
menuruni tangga, tak sengaja ia pun bertemu dengan seorang laki-laki yang telah
menyakiti hatinya dan mengkhianati ibu yang begitu disayanginya, yaitu ayahnya
sendiri, sedang bersama perempuan yang paling dibenci olehnya didunia ini yang
telah merusak kehangatan keluarga yang kini tak pernah menghampiri Meisyha
lagi. Meisyha pun mencoba tak memperdulikan, dan melewati kedua orang tersebut
tanpa perlu menyapa. Namun langkahnya harus terhenti karena ayahnya memanggil
dirinya.
“Meisyha, kamu gak
salam sama ayah dan ibu ?” teriak ayahnya, membuat Meisyha harus membalikan
tubuhnya.
“Oh gitu ya ?
penting ?” jawab Meisyha sinis, dan langsung berlalu meninggalkan rumahnya
menuju sekolah tanpa memerdulikan kedua orang dibelakangnya itu.
“Meisyha ! Meisyha
!” teriak ayah Meisyha, namun Meisyha tak memperdulikan dan pergi meninggalkan
ayahnya dengan linangan air mata.
***
Angin menerpa
rambut Meisyha dengan lembut, memberikan kesejukkan sejenak menenangkan jiwa
yang tadi sedang digemuruh oleh luapan emosi serta mengeringkan air mata yang
tadi mengalir dari pelupuk mata Meisyha.
“Kenapa Sya ?”
tanya Renia teman sebangku Meisyha , yang sedari tadi melamun didepan kelasnya.
“Gue gak pa-pa kok
!” jawab Meisyha dengan datar tanpa ekspresi.
“Sya.. cerita dong
sama kita.” Tambah Rakka, sahabat Meisyha sejak ia duduk dibangku satu SMA.
“Gue gk pa-pa sweer
deh !” tegas Meisyha sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengah membentuk
huruf V.
“Masalah bokap lo
lagi ?” tanya Renia to the point,
membuat matanya kembali berkaca tak kuasa membendung air mata, dan tanpa sadar
Meisyha pun kembali menjatuhkan air mata.
“Sya.. lo gak pa-pa
kan ?” tanya Rakka sambil mengusap rambut Meisyha dengan lembut.
“Gue capek Ka,
kapan sih bokap gue ngerti ?” ucap Meisyha sambil berlinangan air mata mencoba
meluapkan emosinya yang tertahan.
“Sabar Sya, bokap
lo pasti sayang kok sama lo, percaya deh sama gue !” ucap Renia mencoba
menenangkan Meisyha.
“Kalo dia sayang
sama gue kenapa dia gak pernah mau ngertiin gue dan selalu maksain gue untuk
menuruti perintah yang sama sekali gue gak mau seumur hidup gue !” ucap Meisyha
yang meluapkan semua emosinya dalam kata-katanya tersebut.
Meisyha pun menunduk lemas, menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya tak ingin siapapun tahu bahwa dirinya kini sedang menangis. Renia pun
memeluk Meisyha begitu hangat dan erat, seakan tak ingin siapapun melukainya.
Rakka yang tak kuat melihat sahabatnya terluka pun hanya bisa menutup mulutnya
dengan tangan kanan, berusaha menahan emosinya.
***
“Kamu kenapa sih gak pernah mau nurut sama ayah !” teriak ayah Meisyha
begitu kencang, hingga memenuhi seluruh penjuru rumah.
“Apa ayah bilang ? aku gak mau nurut ?” lawan Meisyha tak kalah
kencangnya dengan sang ayah.
“Emang iya kan ? kamu tuh maunya apa sih ? ibu tuh udah tenang disana,
kalo kamu gini terus ibu bakalan sedih disana !”
“Ayah tau apa tentang perasaan ibu hah ?! yang ayah tau cuma nyakitin
ibu kan ! itu kan yang ayah tau, jadi jangan so ngasih tau aku deh gimana perasaan
ibu sekarang !”
“Kamu itu ! durhaka sama orang tua ya ?!” teriak sang ayah dengan begitu
murkanya.
“Sudah mas, tenang jangan emosi, dia anakmu jangan bicara seperti itu.” ucap
Santi mencoba menenangkan suaminya.
Meisyha yang sudah muak melihat perempuan penghasut itu akhirnya pun
memutuskan pergi dari rumah.
“Yaudah urusin aja tuh cewek ! gue emang gak penting kan ! fine !” kesal
Meisyha dan beranjak pergi meninggalkan rumah.
Meisyha pun berlari meninggalkan rumah dengan linangan air mata, tak
dapat membohongi perasaannya kalau sesungguhnya dirinya sangat menyayangi
ayahnya. Tanpa Meisyha sadari ternyata ayahnya mengejarnya di belakang, entah
mengapa hujan pun turun dengan deras seakan setuju untuk menutupi air mata
Meisyha yang terus saja mengalir dari pelupuk matanya. Keadaan malam itu sangat
gelap dan sepi Meisyha kini berjalan di atas licinnya aspal karena terguyur
hujan, ayahnya terus saja memanggil dirinya berusaha menghentikan langkah
Meisyha.
“Meisyha ! Meisyha tunggu nak !” teriak ayah Meisyha dari belakang.
Namun Meisyha tak memperdulikan ayahnya dan terus berlari. Tiba-tiba
ayah Meisyha tersandung sesuatu, sehingga badannya yang kokoh tinggi besar itu
pun roboh, Meisyha yang mengetahui keadaan ayahnya itu pun berhenti berlari dan
berbalik melihat keadaan ayahnya sangat khawatir. Saat ayah Meisyha akan
berusaha untuk bangkit kembali, tiba-tiba ada suara klakson yang mengaung
memecah derasnya hujan, Meisyha yang terkejut itu pun teriak dengan spontan
berusaha menyadarkan ayahnya agar segera berdiri, namun karena begitu
terkejutnya ayahnya pun speechless dan tak bisa menggerakan tubuhnya, hanya
memandang mobil yang semakin mendekat dengan mata yang terbelalak ketakutan.
“Ayaaaaaaaaah !!!!....” teriak Meisyha memecah keheningan malam.
***
Lampu ruang UGD menyala,
menandakan bahwa ada seseorang yang sedang memerlukan pertolongan hidup. Banyak
suster yang mondar-mandir keluar masuk ruangan UGD, membantu dokter untuk menyelamatkan
seseorang yang sedang sekarat, begitu banyak darah yang mengalir dari tubuhnya
yang kini terbaring kaku tak sadarkan diri. Selang oksigen terus saja
disumbatkan ke hidungnya, berharap agar dia kembali hidup menatap hari dengan
senyuman.
“Gimana keadaannya ?” ucap seorang cowok yang terengah-engah di balik
ruang UGD.
“Om gak tau, dokternya belum keluar.” Jawab seorang lelaki setengah
baya, dengan kemeja dan celana hitam yang basah kuyup.
“Ya Allah, semoga Meisyha gak kenapa-napa.” Lanjut seorang cewek yang
menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya berdo’a sambil menatap Meisyha
dari balik jendela pintu.
“Ini semua salah om ! harusnya om ngertiin Meisyha, Meisyha maafin ayah.”
Lirih ayahnya Meisyha yang terduduk lemas di lantai.
“Om gak boleh ngomong gitu sekarang yang penting kita harus do’ain
Meisyha supaya dia selamat.” Ucap Rakka berusaha menenangkan ayah Meisyha,
sambil menepuk bahu ayah Meisyha.
“Iya om, om yang sabar ya, semoga Meisyha bisa melalui ini semua.”
Tambah Renia menenangkan.
Setelah mendengar ucapan kedua sahabat anaknya itu pun akhirnya dia sedikit
merasa tenang. Sudah hampir satu jam berlalu, namun lampu ruang UGD masih belum
mati, menandakan masa-masa kritis masih terus berputar di lingkaran kehidupan
Meisyha. Ayahnya yang sudah mulai panik pun mondar-mandir didepan ruang UGD tak
sabar mendengar kabar yang akan diberikan oleh dokter. Lima menit kemudian
lampu ruang UGD mati, dan para suster pun keluar, ayah Meisyha yang mengetahui
hal itu pun langsung melonjak kaget dan menunggu dokter untuk keluar, hal
serupa pun terjadi kepada kedua sahabat Meisyha, Rakka dan Renia.
“Gimana dok keadaan anak saya.” Tanya ayah Meisyha setelah dokter keluar
dari ruang UGD.
“Maafkan saya Pak, saya sudah berusaha keras tapi kondisi anak bapak masih
kritis, ada pembocoran pembuluh darah di otaknya.” Jelas dokter kepada ayah
Meisyha.
“Dok, saya mohon dok, selamatkan anak saya berapapun akan saya bayar
dok, asalkan anak saya selamat !” mohon ayah Meisyha sambil memegang lengan
dokter.
“Maafkan saya Pak.” Ucap dokter putus asa dan meninggalkan ayah Meisyha,
serta Rakka dan Renia.
Ayah Meisyha pun hanya tertunduk lemas, tak kuasa menerima kenyataan
pahit yang diucapkan oleh dokter tersebut. Dia hanya menangis pilu, menyesal
akan yang dilakukannya selam ini kepada anaknya, Rakka yang tak tega melihat
keadaan ayah sahabatnya itu pun merangkul tubuh ayah Meisyha untuk bengkit dan
menjenguk anaknya yang sedang tak sadarkan diri dalam ruang UGD, ayah Meisyha
pun mengangguk menyetujui dan masuk kedalam melihat anaknya yang terbaring kaku
tak sadarkan diri.
“Meisyha sayang, maafin ayah ya.. ayah selama ini gak ngertiin kamu,
kamu cepet sadar ya nak.” Lirih ayah Meisyha, sambil membelai lembut rambut
anaknya tersayang.
Renia yang tak kuat melihat keadaan itu pun hanya menunduk lemah dalam
pelukan Rakka yang mencoba menenangkan. Meisyha yang mungkin mendengar isakan
dan tangisan ayahnya itupun sadar. Ayah Meisyha yang sadar bahwa anaknya sudah
siuman pun langsung tersenyum bahagia, Rakka dan Renia yang menyadarinya pun
ikut tersenyum bahagia.
“Meisyha ?”
“Ayah..” ucap Meisyha lirih.
“Meisyha sayang kamu gak pa-pa kan ?” tanya ayahnya dengan nada yang
begitu khawatir.
“Aku dimana yah ?” tanya Meisyha bingung.
“Kamu dirumah sakit nak, kamu udah nolong ayah dari maut.”
“Ayah maafin aku yah, sebenarnya aku sayang banget sama ayah, aku cinta
ayah, maafin aku yah.” Sesal Meisyha kepada ayahnya, dengan tatapan yang begitu
lekat seakan-akan dia tak pernah bertemu dengan ayahnya selama betahun-tahun
lamanya.
Ayahnya pun menggeleng, “Gak sayang, harusnya ayah yang minta maaf, ayah
gak bisa ngertiin kamu selama ini, jadi maafin ayah ya sayang, ayah akan selalu
sayang sama kamu.” Ucap Ayahnya lirih sambil memandang Meisyha lekat-lekat.
“Syukurlah, makasih ya yah.” Ucap Meisyha, yang disusul anggukan dari
ayahnya.
Meisyha pun memandang langit-langit menyusuri setiap sudut atap
tersebut, seolah-olah dia bisa menembus memandang langit jagad raya. Di
pandangnya orang yang berada disekelilingnya, ada ayahnya yang sedang memegang erat
tangannya begitu hangat dan kasih sayang, dan dibelakang punggung ayahnya ada
dua orang yang saling merangkul memandang Meisyha dengan senyuman bahagia,
Rakka dan Renia. Saat matanya memandang kearah pintu dilihatnya sesosok
perempuan yang sedang memandangnya dengan linangan air mata, Ibu tirinya.
Meisyha yang terkejut pun akhirnya membalas air mata itu dengan senyuman tulus
yang lembut, berisyarat bahwa perempuan itu dapat masuk melihatnya lebih dekat.
Ibu tirinya yang seolah tau akan isyarat yang Meisyha berikan itupun masuk
kedalam ruangan.
“Kamu gak kenapa-napa Sya ?” tanya perempuan itu.
Mendengar suara tersebut, ayah serta kedua sahabat Meisyha pun dengan
refleks memandang kebelakang melihat siapa yang yang sedang menyapa Meisyha.
“Aku gak pa-pa kok, aku sekarang bisa tenang.” Ucap Meisyha yang spontan
membuat ayahnya terkejut ketakutan.
“Kamu ngomong apa sih sayang.” Ucap Ayah Meisyha khawatir dengan ucapan
anaknya tersebut.
“Sekarang aku bisa tenang yah, sekarang aku atu kalau Santi memang
sangat mencintai ayah, aku sekarang sudah rela dan tenang. Aku akan ketemu Mama
dan bicara kepadanya kalau disini ada Santi yang bisa merawat ayah dengan
baik.” Ucap Meisyha, yang semakin membuat ayahnya khawatir.
“Kamu gak boleh ngomong gitu nak !”
“Santi..” ucap Meisyha yang pandangannya kini beralih kearah Santi.
“Iya sayang..” jawab Santi lirih.
“Aku titip ayah aku ya, jaga dia baik-baik jangan pernah kamu
meninggalkan dia samapi kapanpun ya ?” pinta Meisyha dengan lirih, Santi pun
hanya mengangguk lemas dengan deraian air mata.
“Meisyha kamu ngomong apa sih !” teriak ayah Meisyha dengan linangan air
mata yang mulai bercucuran lagi.
“Ayah..” ucap Meisyha sambil membelai pipi ayahnya, “Ikhlasin aku yah..
ayah sayang kan sama Meisyha, ikhlasin aku yah..” pinta Meisyha lirih.
Ayahnya hanya menunduk lemas, sambil memegang tangan putrinya yang mulai
dingin.
“Iya sayang ayah ikhlas.” Ucap ayahnya lirih dengan isakan, dan masih
saja bersembunyi dibalik tangan dingin Meisyha.
Meisyha yang mendengar ucapan ayahnya pun kembali memandang
langit-langit mencoba kembali menembus atap itu untuk melihat langit jagad
raya. Meisyha yang tak kuasa menahan tubuhnya yang semakin mendingin pun
akhirnya menutup matanya, meneteskan kristal bening terakhirnya.
Ayah Meisyha yang mengetahui bahwa anakanya sudah tak bernyawa lagi itu
pun langsung mengguncang-guncang tubuh anaknya tak rela anaknya pergi
meninggalkannya sendiri. Renia hanya dapat menangis dalam pelukan Rakka, dan
Rakka pun hanya dapat memejamkan mata tak kuasa melihat sahabatnya menemui sang
Maha Kuasa. Santi yang tak percaya dengan apa yang dilihat olehnya itu pun
hanya terduduk lemas.
“Meisyhaaaaa !!!!!!....” teriak ayah Meisyha menuntun anaknya pergi
menemui sang Khalik.
Anakku
maafkan aku yang selalu tak ingin belajar memahamimu, kini diriku sadar betapa
pentingnya dirimu dalam hidupku, memang benar penyesalan akan selalu datang
terlambat. Kini penyesalan takkan ada gunanya lagi, yang dapat ku berikan hanya
bait-bait do’a yang akan selalu mengiringimu bertemu sang Maha Kuasa, sayang
titipkan salam cintaku kepada ibumu disana, jika waktunya tiba aku pun akan
menemuimu dengan sejuta kebahagiaan yang akan kita rasakan selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar